Fenomena Corak keberagaman Islam Nusantara

 

sumber gambar: Beritagar.id


    Perjumpaan Islam dengan budaya (tradisi) lokal itu seringkali menimbulkan akulturasi budaya. Kondisi ini menyebabkan ekpresi Islam tampil beragam dan bervariasi sehingga kaya kreativitas kultural-religius. Akulturasi budaya tidak bisa dibendung ketika Islam memasuki wilayah baru. Jika Islam bersikap keras terhadap budaya atau tradisi lokal yang terjadi justru pertentangan terhadap Islam itu sendiri bahkan peperangan dengan pemangku budaya, tradisi atau adat lokal seperti perang Padri di Sumatera. Maka  jalan yang terbaik adalah melakukan seleksi terhadap budaya maupun tradisi yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam untuk diadaptasi sehingga mengekpresikan Islam yang berkembang sehingga menimbulkan Islam yang beragam. Inilah yang dimaksud dengan corak dan warna Islam Nusantara.

    Keberagaman pemikiran dan pemahaman Islam ini merupakan konsekuensi logis dari pertumbuhan dan perkembangan Islam. Azyumardi Azra menjelaskan bahwa Islam satu itu hanya terdapat pada al-Qur’an. Tetapi al- Qur’an (serta hadis) itu membutuhkan penjabaran yang rinci sehingga maksud ayat-ayatnya perlu ditafsirkan dan dijelaskan. Ini kenyataan di lapangan yang kita hadapi dan harus kita sadari bahwa Islam hanya satu itu terletak pada substansinya, namun ekpresi penampilannya sangat beragam. Mohamad Ali menegaskan bahwa Islam itu satu. Namun, ketika Islam telah membumi, pemahaman dan ekpresi umatnya sangat beragam. Ahmad Fuad Fanani menegaskan, “Fenomena keberagamaan umat dewasa ini mengalami pendulum yang sangat berwarna-warni.” Maka M. Imdadun Rahmat menyimpulkan, “Dengan demikian, Islam tidak dipandang lagi secara tunggal, melainkan majemuk.” Dengan bahasa lain, Ahmad Syafii Maarif melukiskan sebagai “Sebuah Islam, seribu satu ekpresi.” Jadi secara substantif, Islam di mana pun sama yaitu agama Allah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad Saw sebagai petunjuk bagi umat manusia walaupun beraneka corak dan warnanya. Ada golongan yang berkenyakinan bahwa ajaran Islam yang diajarkan Nabi Muhammad dalam konteks budaya Arab adalah final sehingga harus diikuti sebagaimana adanya. Tidak ada pemisahan antara Islam dan budaya Arab. Sementara itu ada juga kelompok yang berpikir bahwa universalitas ajaran Islam tidak terbatas pada waktu dan tempat tertentu. Islam bisa masuk ke dalam budaya apapun.

        Istilah Islam Nusantara yang dimaksudkan pada fakta sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara yang disebutnya “dengan cara mendukung budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras, Islam Nusantara ini didakwahkan merangkul budaya, melestarikan budaya, menghargai budaya, bukan malah memberangus budaya.” Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang bersifat universal sehingga misi dan ajaran Islam bukan saja diberikan untuk sekelompok masyarakat, melainkan seluruh umat manusia di jagat raya ini. Azyumardi Azra menegaskan bahwa fakta geografis sangat penting dalam memahami dan menjelaskan islamisasi di kawasan Nusantara. Posisi Nusantara yang jauh dari Arab menyebabkan islamisasi ini sangat berbeda dengan islamisasi di kawasan- kawasan lainnya baik di Timur Tengah, Afrika Utara maupun Asia Selatan. Islamisasi di Nusantara menggunakan pendekatan kultural sehingga mencitrakan cara-cara yang damai, sedangkan islamisasi di kawasan Timur Tengah menggunakan pendekatan militer berupa penaklukan sehingga mencitrakan kekerasan.

        Kehadiran Islam ini, seiring berkembangnya zaman, secara terus-menerus berdialog dengan budaya masyarakat lokal yang kemudian menciptakan simbol-simbol khas nusantara yang tentunya tidak sama dengan kawasan Timur Tengah. Contoh produk simbol-simbol keislaman khas nusantara dapat dengan mudah ditemukan, salah satunya kebiasaan para santri dan kiai mengenakan sarung. Selain berfungsi untuk menutup aurat, sarung juga tidak pernah diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW pada zaman dahulu. Akan tetapi, Nabi mengadopsi pakaian tradisi bangsa Arab yaitu mengenakan jubah. Saat ini perlu kita ketahui bahwa sarung kini menjadi simbol keislaman yang secara kultural telah melekat sebagai identitas muslim Nusantara. Islam Nusantara mengakui bahwa budaya merupakan bagian dari agama. Jadi, mengapa dulu Islam dengan mudah diterima oleh masyarakat jawa pada waktu itu, karena mereka mengedepankan budaya tanpa mengurangi sisi kemurnian ajaran Islam sendiri. Nusantara yaitu platform yang mana untuk menegaskan bahwa Islam yang ada di bumi Nusantara ini mengadaptasi nilai-nilai lokal ciri khas masyarakat Nusantara tersebut. Nantinya akan melahirkan sebuah produk baru yang berbeda dari segi corak kebeberagaman dengan Arab tempat lahirnya Islam.

        Ada beberapa hal yang terbilang unik terhadap Islam yang selama ini orang jalani ketika hadirnya fenomena keberagamaan, yaitu kelompok yang mengatasnamakan Islam tetapi menggelisahkan masyarakat dunia. Fenomena tersebut membuat dunia bertanya- tanya tentang Islam yang sesungguhnya, yaitu Islam yang selama ini dikenal dengan penuh kasih sayang dan damai. Pertanyaan-pertanyaan dunia tentang hal itu sudah dapat ditemukan dari corak keberagamaan dan perilaku keislaman yang terdapat di Nusantara. Dengan begitu, pola keislaman yang ada di Indonesia akan membuat peradaban Islam yang damai tidak hanya di Nusantara, akan tetapi bisa menjadi rujukan bagi dunia luar. Sejalan dengan pendapat Azyumardi Azra, Islam Nusantara mengacu pada Islam distingtif hasil dari kontekstualisasi, interaksi, vernakularisasi dan Indigenisasi Islam yang universal dengan budaya, realitas sosial dan agama di bumi Indonesia. Lebih singkatnya, dapat dikatakan bahwa Islam Nusantara adalah praktik keislaman di nusantara sebagai implementasi dari hasil dialektika atau interaksi antara syariat dengan budaya dan realitas sosial masyarakat. Kedatangan Islam Nusantara bukan untuk merubah doktrin Islam, akan tetapi hanya ingin mencari metode bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks beragamnya budaya masyarakat lokal.

 

Nicodemus Boenga, CORAK DAN WARNA-WARNI ISLAM NUSANTARA: AWAL,TENGAH, DAN MODERN, NUANSA Vol. XIII, No.1, Juni 2020

Ali Mursyid Azisi, ISLAM NUSANTARA: CORAK KEISLAMAN INDONESIA DAN PERANNYA DALAM MENGHADAPI KELOMPOK PURITAN, Empirisma : Jurnal Pemikiran dan Kebudayaan Islam Vol. 29 No. 2 Juli 2020

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Budaya dan Kearifan Dakwah

DESTINASI WISATA

Mengenal Unsur Unsur Komunikasi Lintas budaya dalam berdakwah